Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad, da’i yang menyeru kepada jalan Allah, lentera yang menerangi perjalanan, dan pemandu di atas jalan yang lurus.
Amma ba’du.
Mengenal Allah adalah sebuah kenikmatan besar yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan. Sebuah kelezatan yang mewarnai hati dan perilaku insan beriman yang menegakkan hidupnya di atas asas ketakwaan. Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Apakah itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Mengenal Allah berarti tunduk kepada agama-Nya, yaitu Islam. Mengenal Allah berarti pasrah kepada ketetapan dan hukum-hukum-Nya. Mengenal Allah berarti menjadikan kecintaan kepada Allah di atas kecintaan kepada segala sesuatu. Allah lebih dicintainya daripada harta, kedudukan, dan sanak keluarganya. Inilah kedudukan yang sangat agung yang telah dirasakan oleh generasi terbaik umat ini; yaitu para Sahabat radhiyallahu’anhum.
Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya….” (At-Taubah : 100)
Generasi terdahulu dari umat ini dibina dan digembleng di atas nilai-nilai iman dan keikhlasan. Mereka diasuh oleh sebaik-baik manusia dan pendidik di atas muka bumi ini, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu mereka tumbuh dengan berhiaskan akidah dan akhlak Islam. Mereka hidup dan bergerak demi Islam. Mereka lah yang disebut sebagai khairun naas ‘sebaik-baik umat manusia’. Mereka lah yang terdepan -setelah para nabi- termasuk dalam kelompok ‘orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah’ alias ‘alladziina an’amta ‘alaihim’. Orang-orang yang telah mendapatkan jaminan surga.
Keislaman para Sahabat tentu bukanlah keislaman basa-basi. Akan tetapi keislaman yang terwujud dalam kehidupan. Sebagaimana diterangkan para ulama kita, bahwa hakikat islam itu adalah ‘kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya’. Inilah hakikat dan makna Islam yang diajarkan oleh para nabi dan rasul ‘alaihimus salam. Mereka lah (para Sahabat) kaum yang telah merasakan lezatnya keimanan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Seorang muslim akan merasakan manisnya keimanan; tatkala kepasrahan yang diberikan kepada Allah adalah kepasrahan yang ditegakkan di atas ketauhidan, bukan kepasrahan yang tercampur dengan syirik dan kekafiran. Karena syirik dan kekafiran akan merusak dan menghancurkan petunjuk dan keamanan. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (Al-An’am : 82)
Seorang muslim yang mengenal Allah tidak akan menujukan sedikit pun ibadahnya kepada selain Allah. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih, dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)
Syirik bukanlah tanda kecintaan kepada Allah. Bahkan syirik adalah larangan terbesar yang Allah peringatkan kepada umat manusia. Dosa paling besar diantara dosa-dosa besar yang lain. Dosa yang menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka dan terhalang selamanya dari ampunan Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’ : 48)
Mengenal Allah bukan semata-mata dengan meyakini Allah sebagai satu-satunya penguasa, pengatur alam, pemberi ketetapan hukum, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan pencipta segala sesuatu. Ini semua tidak cukup dalam mewujudkan ‘pengenalan/ma’rifat’ kepada Allah. Karena hakikat ma’rifatullah ialah menghamba kepada-Nya semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana telah Allah perintahkan dalam kitab-Nya yang mulia (yang artinya), “Sembahlah Allah (saja) dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (An-Nisaa’ : 36). Dan inilah seruan segenap rasul kepada umatnya. Sebagaimana dikisahkan Allah dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Inilah yang diperintahkan Allah kepada segenap manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah : 21). Bahkan inilah yang menjadi hikmah dan tujuan penciptaan jin dan manusia di muka bumi ini. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan ‘man kaana billaahi a’raf kaana minhu akhwaf’ artinya, “Barangsiapa yang lebih mengenal Allah niscaya dia lebih merasa takut kepada Allah.” Semakin orang mengenali Allah -dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya- maka dia takut kalau-kalau penghambaan yang dia lakukan tidak diterima atau tidak layak dipersembahkan kepada-Nya. Dia menyadari bahwa apa-apa yang dia amalkan amat jauh dari kesempurnaan.
————————-